Dalam
hal ini sub sektor peternakan merupakan salah satu alternatif usaha
yang dapat meningkatkan pendapatan dan menampung tenaga kerja tanpa
penambahan lahan. Salah satu hambatan dalam rangka meningkatkan
produktivitas ternak adalah adanya berbagai penyakit reproduksi yang
merupakan faktor yang langsung berpengaruh terhadap populasi dan
pengembangan ternak.
Penyakit
reproduksi pada ternak dapat menimbulkan kerugian ekonomi yang cukup
besar bagi petani khususnya dan masyarakat luas pada umumnya. Karena
selain merusakkan kehidupan ternak, dan mneghambat perkembanganpopulasi
juga dapat menular kepada manusia. Kasus gangguan reproduksi yang
ditandai dengan rendahnya fertilitas induk, akibatnya berupa penurunan
angka kebuntingan dan jumlah kelahiran pedet, sehingga mempengaruhi
penurunan populasi sapi dan pasokan penyediaan daging secara nasional.
Diantara
gangguan reproduksi yang cukup mempengaruhi produktivitas ternak yaitu
kemajiran pada ternak betina. Kemajiran ternak betina bisa disebabkan
oleh infeksi penyakit ataupun non infeksi seperti gangguan hormon,
kelainan bawaan, patologi kelamin dan pakan yang kurang nutrisi.
Kerugian
ekonomi akibat serangan penyakit dapat ditekan jika diagnosa,
pencegahan, ataupun pengobatan dilakukan sedini mungkin, secara cepat
dan tepat agar penyakit tidak menyebar ke ternak lain. Dan keberhasilan
reproduksi akan sangat mendukung peningkatan populasi ternak
Dalam
paper ini akan sedikit dijelaskan tentang kemajiran ternak betina yang
disebabkan oleh infeksi-infeksi penyakit yang umum dan sering terjadi di
lapangan.
1.2 Perumusan Masalah
1.2.1 Infeksi penyakit penyebab kemajiran ternak betina yang umum dan sering terjadi ?
1.2.2 Bagaimaan gambaran penyakit sampai bisa menyebabkan kemajiran ternak betina?
1.2.3 Bagaimana pencegahan dan penanganannya ?
1.3 Tujuan dan Manfaat Penulisan
· Sebagai
referensi ilmiah mengenai penyakit-penyakit infeksi yang dapat
menyebabkan kemajiran pada ternak betina yang umum dan sering terjadi
· Memberi
informasi cara pencegahan dan penaganan supaya dapat meningkatkan
produktivitas ternak yang berdampak pada kesejahteraan petani peternak
dan masyrakat pada umumnya
BAB II
PEMBAHASAN
3.1. Kemajiran Yang Disebabkan Infeksi Jamur
Disgenesis
reproduksi mencakup kegagalan reproduksi tanpa memandang penyebabnya
maupun periode kebuntingan sewaktu terjadi kehilangan konseptus.
Kehilangan konseptus yang terjadi sejak pembuahan sel telur sampai
diferensiasi embrional (kurang lebih 45 hari) disebut kematian
embrional. Kehilangan konseptus yang terjadi selama periode foetal yaitu
dari saat diferensiasi sampai kelahiran, dibagi atas abortus dan
kelahiran prematur. Abortus atau keluron adalah kematian fetus sebelum
akhir masa kebuntingan dengan fetus yang belum sanggup hidup, sedangkan
kelahiran prematur adalah pengeluaran fetus sebelum akhir masa
kebuntingan dengan fetus yang sanggup hidup sendiri di luar tubuh induk.
Hampir
semua abortus mikotik pada sapi disebabkan oleh dua kelompok jamur.
Sekitar 60 sampai 80 persen disebabkan oleh Aspergillus spp dan
kebanyakan adalah Aspergillus fumigatus. Jenis Mucorales bertanggung
jawab atas keguguran mikotik selebihnya. Kejadian abortus mikotik
bervariasi dari 0,5 sampai 16 persen dari semua abortus pada sapi.
Gambar : Spora mukorales
Aspergillus
terdapat dimana-mana dan umumnya bersifat saprofit. Jamur memasuki
tubuh hewan melalui pernapasan dan makanan. Spora jamur kemudian dibawa
ke plasenta melalui aliran darah dari laesio lain pada saluran
pencernaan. Hasil penularan ini secara gradual menyebabkan plasentitis,
hambatan pemberian makanan pada saluran fetus, kematian fetus dan
abortus dalam waktu beberapa Minggu atau beberapa bulan kemudian.
Kebanyakan abortus terjadi pada bulan kelima sampai ketujuh masa
kebuntingan, tetapi dapat berlangsung dari bulan keempat sampai waktu
partus. Fetus umumnya dikeluarkan dalam keadaan mati, tetapi pada
beberapa kasus terjadi kelahiran prematur atau fetus lahir pada waktunya
dalam keadaan hidup tapi lemah dan mati segera sesudah lahir.
Abortus
mikotik umumnya ditandai oleh perubahan-perubahan nyata pada selaput
fetus, tapi lebih nyata daripada perubahan-perubahan abortus karena
brusellosis dan vibriosis. Chorion tebal, oedematus, seperti kulit dan
neurotik. Laesio utama terdapat pada plasentoma. Karunkel dan kotiledon
sangat membesar, membengkak, oedematus dan nekrotik.
Kotiledon
yang nekrotik memperlihatkan suatu pusat yang kelabu suram dikelilingi
oleh daerah hemoragika dan bertaut erat dengan khorion yang nekrotik. Di
dalam ruang utero khorion umumnya terdapat cairan kemerah-merahan
dengan kepingan-kepingan nanah. Jamur menyebar melalui selaput fetus ke
dalam cairan foetal. Foetus dapat tampak normal atau, pada 30 persen
kasus jamur dapat bertumbuh pada kulit dalam bentuk bercak-bercak
seperti pada ichtyosis congenital atau ringworm. Cairan serosa berwarna
jerami dapat ditemukan pada jaringan foetal atau rongga tubuhnya. Jamur
dapat diisolasi dari isi lambung, dari chorion, atau kotiledon plasenta
yang terserang. Penyembuhan pada kasus yang parah cukup lambat dan
tertunda atau dapat diikuti oleh kemajiran permanen.
Diagnosa
dikuatkan oleh pemeriksaan mikroskopik terhadap jamur dari plasenta
atau foetus, pemeriksaan histopatologik terhadap jaringan plasental atau
foetal dan oleh kultur pada media buatan.
3.2 Kemajiran Yang Disebabkan Virus “Infectious Bovine Rinotracheitis (IBR)”
Penyakit
Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR) adalah penyakit menular yang
disebabkan oleh virus yang dapat menyerang alat pernafasan bagian atas
dan alat reproduksi ternak sapi. Etiologi Infectious Bovine
Rhinotracheitis disebabkan oleh Bovine herpesvirus-1 (BHV-1) .
Gejala
klinis dari penyakit ini adalah gangguan pernafasan, gejala syaraf dan
gangguan reproduksi merupakan gejala klinis yang utama. Biasanya
penyakit ini menyerang ternak sapi yang ditandai dengan gejala demam
tinggi 40,5 ± 42 °C, nafsu makan menurun dan dijumpai leleran hidung,
hipersalivasi, produksi air susu menurun disertai dengan kekurusan
(Kurniadhi, 2003).
Sindrom
berupa demam, vulvovaginitis, repeat breeders, balanoposthitis,
metritis terdapat pada gangguan reproduksi, bahkan dapat menjadi abortus
dan kematian pada anak sapi. Penularan IBR terjadi karena kontak
langsung, terutama pada kelompok ternak yang dikandangkan terlalu padat,
sedangkan, penularan bentuk veneral terjadi pada waktu perkawinan atau
inseminasi buatan (IB) (Sudarisman, 2007). Kontaminasi pada semen
merupakan hal yang sangat potensial dalam pengembangan usaha peternakan,
karena virus IBR dapat menyebar lewat kegiatan inseminasi buatan dan
menyebabkan berbagai gangguan pada saluran reproduksi betina termasuk di
dalamnya endometritis, infertilitas dan keguguran.
Masa
inkubasi secara alami berlangsung selam 21 hari. Virus masuk ke dalam
aliran darah setelah terjadinya penularan (viremia), kemudian diikuti
dengan timbulnya kerusakan-kerusakan sel epitel pada mukosa saluran
pencernaan. Pada hewan yang buting virus ini menyebabkan plasentitis
yang diikuti oleh infeksi pada fetus, kemudian diikuti abortus atau
kelahiran anak yang abnormal
Masa
inkubasinya virus ini adalah 4-6 hari, tetapi pada infeksi buatan masa
ini lebih pendek. Penyakit ini bermanifestasi dalam 3 bentuk : 1) Bentuk
respirasi, 2) Bentuk alan kelamin dan 3) Bentuk konjunktivitis.
Pencegahan dilakukan dengan pemeriksaan awal terhadap sapi-sapi impor
dari daerah atau negara lain yang tertular penyakit ini serta perlu
benar-benar bebas dari caplak dan bebas antibodi terhadap virus IBR.
Sedangkan pengobatan penderita IBR umumnya hanya bersifat simptomatik
(Anonimous, 2008).
Penyakit ini dapat dicegah dengan cara :
1. Menghindarkan
faktor resiko yang ada pada inseminasi buatan. Memisahkan hewan yang
serologik positif dan yang negatif. Hambat impor hewan yang serologik
positif, embrio dan semen yang telah terkontaminasi virus BHV-1 untuk
tujuan pembibitan ternak ataupun program inseminasi buatan.
2. Mempertahankan
kelompok ternak yang bebas BHV-1, melakukan uji serologik dan isolasi
virus dua kali setahun pada ternak-ternak yang ada pada pusat pembibitan
dan pusat inseminasi buatan terhadap adanya virus BHV-1. Keluarkan
hewan yang positif BHV-1 berdasarkan isolasi virus dan kelompok hewan
yang serologik positif dapat dilakukan vaksinasi, terutama dengan vaksin
yang mati guna mencegah infeksi laten. Hindarkan penggunaan vaksin
hidup. Penggunaannya dapat dilakukan bila ada outbreak pada beberapa
kelompok hewan serta pengawasan hewan yang telah divaksinasi harus lebih
ketat.
3. Tidak
mentolerir adanya pejantan yang serologic positif terhadap BHV-1 pada
Balai Inseminasi Buatan (BIB). Hal ini merupakan jaminan terhadap
produksi semen beku yang dihasilkan. Reputasi BIB sangat tergantung dari
bebasnya pejantan dari penyakit menular
Hal
lain yang dapat dilakukan dalam program pemberantasan penyakit ini
adalah mengontrol terjadinya infeksi dengan mengembangkan pengebalan
ternak akibat infeksi alamataupun akibat vaksinasi.Berdasarkan akan
efektifitas dari imunisasi aktif setelah terinfeksi secara alami, kini
vaksin digunakan untuk melakukan program kontrol penyakit IBR.
Vaksin
yang digunakan dapat dalam bentuk “modified live virus vaccines”dan
“inactivated vaccines”. Kedua vaksin ternyata sama-sama menghasilkan
antibodi humoral. Beberapa kelemahan terjadi dalam penggunaan vaksin
IBR. Vaksin yang diberikan secara intranasal akan menghasilkan
interferon lokal dan antibodi lokal. Sub unit vaksin kini juga telah
banyak digunakan akan tetapi beberapa laporan menunjukkan bahwa subunit
vaksin tidak dapat mencegah infeksi klinis akibat IBR.
Beberapa
vaksin hidup berdampak pada terjadinya keguguran/abortus dan dapat
mengakibatkan endometritis. Untuk menghindari hal tersebut, beberapa
negara menggunakan vaksin hidup intranasal dan ini masih ada yang
melaporkan kemungkinan menjadi ganas kembali. Vaksin inactive/mati
banyak yang melaporkan derajat kekebalannya tidak tinggi kecuali dengan
penggunaan adjuvant yang baik (Sudarisman, 2003).
3.3 Kemajiran Yang Disebabkan Parasit “Trichomoniasis”
Trichomoniasis
adalah penyakit venereal yang disebabkan oleh Trichomonas foetus.
Abortus terjadi antara minggu pertama dan minggu ke-16 masa kebuntingan.
Penularan dari sapi betina ke sapi yang lain terjadi melalui pejantan
yang mengawininya. Gejala penyakit ini ditandai dengan siklus estrus
yang pendek tidak teratur, dan pada umumnya menyebabkan infertilitas
yang bersifat sementara. Sering sekali ditemui abortus muda (umur 4
bulan atau kurang) dan kejadian pyometra.
Gambar : Trichomoniasis fetus
Patogenesisnya
pada vagina trichomonisis menimbulkan vaginitis kataralis, yang mukosa
vaginanya berwarna kemerahan dan basah. Pada infeksi yang kronis
didapatkan udemaa pada vulva. Pada uterus infeksi T. fetus menyebabkan
endometritis kataralis yang dapat berubah menjadi purulen. Apabila sapi
bunting, keradangan pada kotiledon mengakibatkan kemtian dan maserasi
fetus atau abortus, kemudian disusul terjadinya piometra. Pada kasus
tersebut corpus luteum gravidatum tetap berkembang dan disebut corpus
luteum persisten. Plasenta mengalami penebalan dilapisi sejumlah kecil
gumpalan eksudat berwarna putih kekuningan. Pada kotiledon sedikit
nekrosis.
Penanggulangan
penyakit ini dapat dilakukan dengan pengobatan antibiotik secara lokal
pada betina terinfeksi. Sedangkan pada pejantan terinfeksi dilakukan
pembilasan kantong penis dengan antibiotik atau antiseptika ringan cukup
membinasakan T. fetus. Disamping itu pengolahan semen yang digunakan
untuk IB dengan baik merupakan cara pemberantasan Trichomoniasis. Semen
yang beredar secara komersial dapat diberi perlakuan khusus dengan
pemberian antibiotik untuk menghindari ancaman infeksi sapi betina yang
di IB. pengobatan terhadap Trichomonisis dapat berhasil secara efektif
dengan menggunakan antibiotik spektrum luas baik untuk pejantan maupun
betina. Usaha lain yang dapat dilakukan adalah isolasi dan memberikan
waktu istirahat untuk kegiatan seksual.
3.4 Kemajiran Yang Disebabkan Bakteri “Brucellosis”
Brucellosis
biasanya disebabkan oleh Brucella abortus pada sapi, B. melitensis
atau B. Ovis pada ruminansia kecil, B. suis pada babi dan B. canis pada
anjing. Aborsi, placentitis, epididimitis dan orchitis adalah gejala
klinis paling umum pada penyakit brucellosis, walaupun sindrom lain
juga pernah dilaporkan. Dampak utamapenyakit ini adalah dari
segi ekonomi; kematian jarang terjadi kecuali pada janin dan neonatus.
Beberapa spesies Brucella juga terdapat dalam populasi satwa liar. Hewan
liar yang bertindak sebagai reservoir seperti babi liar, banteng, rusa
dan kelinci eropa menyulitkan upaya pemberantasan B. abortus dan B.
suis. Isolat brucella dari Mamalia laut baru-baru ini
telah ditemukan dalam banyak spesies pinnipeds dan cetacean, dan ada
kekhawatiran bahwa organisme ini mungkin memiliki dampak yang merugikan
pada beberapa spesies.
B.
abortus, B. melitensis B. suis dan B. canis biasanya ditularkan
antara hewanmelalui kontak dengan plasenta, janin, cairan janin
dan vagina dari kotoran hewan yang terinfeksi. Hewan menularkan penyakit
setelah aborsi atau setelah melahirkan.Meskipun ruminansia biasanya
tanpa gejala setelah aborsi pertama, mereka dapat menjadi carrier
kronis, dan terus menyebarkan Brucella melalui susu dan sekresi rahim
pada kehamilan berikutnya. Anjing juga bisa terjangkit B. canis pada
kehamilan berikutnya, dengan atau tanpa gejala. Masuknya kuman ke dalam
tubuh terjadi melaluikonsumsi dan melalui selaput lendir,
kulit yang luka dan juga memungkinkan terjadi pada kulit yang utuh.
Patogenesisnya
permulaan infeksi brucellosis terjadi pada kelenjar limfe supramamaria.
Pada uterus, lesi pertama terlihat pada jaringan ikat antara kelenjar
uterus mengarah terjadinya endometritis ulseratif, kotiledon kemudian
terinfeksi disertai terbentuknya eksudat pada lapisan allantokhorion.
Brucella banyak terdapat pada vili khorion karena tingginya erytritol
disana yang merupakan makanan dari kuman Brucella, semakin banyak
bakteri disana terjadi penghancuran jaringan, seluruh vili akan
rusak yang menyebabkan kematian fetus dan abortus. Jadi kematian fetus
adalah gangguan fungsi plasenta disamping adanya endotoksin. Fetus
biasanya tetap tinggal di uterus selama 24-72 jam setelah kematian.
Selaput fetus menderita oedematous dengan lesi dan nekrosa.
Tidak
ada pengobatan praktis untuk sapi terinfeksi atau babi, tetapi
pengobatan antibiotik jangka panjang kadang-kadang berhasil pada anjing
yang terinfeksi. Beberapa anjing kambuh setelah pengobatan. Antibiotik
juga telah berhasil menyembuhkan dengan sukses pada beberapa domba
jantan, tetapi biasanya tidak layak secara ekonomis. Kesuburan dapat
tetap rendah bahkan jika organisme tersebut dieliminasi. Pada kuda
dengan fistulous withers atau poll evil, bursa yang terinfeksi mungkin
perlu diangkat melalui pembedahan.
BAB III
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Penyakit
reproduksi pada ternak dapat menimbulkan kerugian ekonomi yang cukup
besar bagi petani khususnya dan masyarakat luas pada umumnya. Karena
selain merusakkan kehidupan ternak, dan mneghambat perkembanganpopulasi
juga dapat menular kepada manusia.
Diantara
gangguan reproduksi yang cukup mempengaruhi produktivitas ternak yaitu
kemajiran pada ternak betina. Kemajiran ternak betina bisa disebabkan
oleh infeksi penyakit ataupun non infeksi seperti gangguan hormon,
kelainan bawaan, patologi kelamin dan pakan yang kurang nutrisi.
Kerugian
ekonomi akibat serangan penyakit dapat ditekan jika diagnosa,
pencegahan, ataupun pengobatan dilakukan sedini mungkin, secara cepat
dan tepat agar penyakit tidak menyebar ke ternak lain. Dan keberhasilan
reproduksi akan sangat mendukung peningkatan populasi ternak.
Kemajiran
ternak betina yang disebabkan oleh infeksi-infeksi penyakit yang umum
dan sering terjadi di lapangan. Diantaranya penyakit infeksi yang
disebabkan oleh jamur yang sering oleh aspergillus fumigatus, virus
seperti IBR, bakteri seperti Brucellosis, dan parasit seperti
Trichomoniasis.
Pada
umumnya pencegahan dapat dilakukan dengan sanitasi kandang yang bagus,
vasksinasi, isolasi sedini mungkin jika ada hewan yang terserang infeksi
penyakit kemajiran dan pemberian nutrisi yang baik pada hewan yang
bunting.
DAFTAR PUSTAKA
Anonimus.
2008. Penularan Kongenital Penyakit Infectious Bovine Rhino
Tracheitis pada Sapi dan Kerbau di Indonesia http://peternakan.Iitbang.
deptan.go.id.
http://animal-health.library4farming.org, di dowload jumat 10 Desember 2010 pukul 15.00 wita
http://budidaya-di.blogspot.com/2010/02/jamur-penyebab-abortus-pada-sapi.html, di dowload jumat 10 Desember 2010 pukul 15.00 wita
http://duniaveteriner.com, di dowload jumat 10 Desember 2010 pukul 15.00 wita
http://en.wikipedia.org/wiki/Mucorales, di dowload jumat 10 Desember 2010 pukul 15.00 wita
Kurniadhi.
P. 2003. Teknik pembuatan biakan sel Primer Ginjal Janin Sapi Untuk
Menumbuhkan Virus Infectious Bovine Rhinotracheitis. Bogor
Sudarisman,
2003. Penularan Kongenital Penyakit Infectious Bovine Rhinotracheitis
(IBR) pada Sapi dan Kerbau di Indonesia. Wartazoa Vol. 17 No. 1 Th. 2007
Sudarisman,
2003. Penyakit Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR) pada Sapi di
Lembaga Pembibitan Ternak di Indonesia. Wartazoa Vol. 13 No. 3 Th. 2003.
0 komentar:
Posting Komentar