Oleh : Drh. Ida Lestari S. MSc.
Belakangan ini ramai dibicarakan di media massa tentang peredaran obat
ilegal yang merugikan konsumen pemakai, padahal dalam dunia obat hewan,
kasus obat hewan ilegal sudah bukan merupakan permasalahan lagi, karena
terkesan belum ada tangan yang cukup kuat untuk memperhatikan masalah
ini secara lebih serius.
Pasal 39 Undang-undang no 18 tahun 2009, menyatakan bahwa, obat hewan adalah sediaan yang dapat digunakan untuk mengobati hewan, membebaskan gejala, atau memodifikasi proses kimia dalam tubuh yang meliputi sediaan biologik, pharmakopeutika, premiks dan sediaan alami.
Pasal 39 Undang-undang no 18 tahun 2009, menyatakan bahwa, obat hewan adalah sediaan yang dapat digunakan untuk mengobati hewan, membebaskan gejala, atau memodifikasi proses kimia dalam tubuh yang meliputi sediaan biologik, pharmakopeutika, premiks dan sediaan alami.
Dalam peredaran obat hewan, Pemerintah Indonesia melalui Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia No 78 tahun 1992 tentang Obat Hewan
mewajibkan bagi semua obat hewan yang beredar sebelum digunakan di
lapangan baik itu digunakan oleh para peternak maupun perorangan,
produksi luar maupun dalam negeri, harus telah diuji terlebih dahulu
mutu/kualitasnya agar dapat memberi jaminan keamanan bagi para pengguna
obat hewan tersebut.
Ketersediaan obat hewan bermutu merupakan jaminan bagi kesehatan hewan,
sekaligus menopang peningkatan industri peternakan yang sangat berperan
dalam pengembangan agribisnis peternakan di Indonesia sehingga
ketersediaan protein hewani akan lebih terjamin khususnya dalam
menunjang program swasembada daging.
Dalam prakteknya, masyarakat sering tertipu dalam pemakaian obat hewan
ilegal yang tidak diketahui kandungannya, dimana obat hewan ilegal
tersebut kemungkinan mengandung sejumlah zat berbahaya bagi organ tubuh
tertentu. Bahkan lebih banyak obat hewan ilegal itu merupakan barang
selundupan yang sering tidak disertai cara pemakaiannya karena tidak
menggunakan bahasa Indonesia.
Selain merugikan masyarakat pengguna yang kerap kurang mengerti bahaya
penggunaan obat hewan ilegal, karena tidak ada jaminan Pemerintah dalam
hal keamanan serta potensi obat hewan tersebut. Selain itu dengan adanya
obat hewan ilegal, negara juga dirugikan karena mengurangi pendapatan
negara untuk tarif pengujian maupun pajak bea masuk.
Sejak tahun 2004 hingga kini, setiap tahunnya, kurang lebih 400-an
sertifikat lulus uji obat hewan diterbitkan oleh Laboratorium Penguji
Mutu Obat Hewan yang pastinya obat hewan tersebut mendapatkan nomor
registerasi, akan tetapi masih banyak obat hewan yang belum terdaftar
yang dapat dikatagorikan obat hewan ilegal.
Obat hewan ilegal adalah obat hewan yang tidak terdaftar (tidak memiliki
nomor registrasi) ataupun sudah terdaftar dan memiliki nomor
registrasi tetapi masa berlakunya telah habis. Sementara itu pemantauan
obat hewan untuk menjamin kualitasnya telah dilakukan oleh laboratorium
penguji mutu yang berwenang dan dinas terkait baik baik ditingkat
Propinsi maupun Kabupaten, walaupun belum berjalan sesuai dengan yang
diharapkan.
Dalam dunia obat manusia, khususnya obat tradisional, kondisi krusial
membuat semakin maraknya persediaan obat tradisional berbagai jenis dan
merek, termasuk obat tradisional ilegal, dimana sudah seharusnya
Pemerintah segera menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) untuk mengatur
hal tersebut karena konsumen adalah orang yang pertama terkena
dampaknya.
Hal yang mirip diatas yaitu kejadian di USA, dimana para pejabat
kesehatan AS mengkonfirmasikan pertama kali ditemukan adanya jamur
mematikan dalam satu paket obat steroid yang digunakan dalam mengatasi
rasa nyeri di punggung, yang tercemar jamur Exserohillum rostratum yang
menyebabkan wabah meningitis dan menewaskan sedikitnya 20 orang hingga
Kamis, 18 Oktober 2012.
Hingga kini ada beberapa SK Mentan / Peraturan Pemerintah atau
Undang-undang yang berhubungan dengan Obat Hewan yang pernah diterbitkan
antara lain:
(1) PP Republik Indonesia No 78 tahun 1992 tentang Obat Hewan;
(2) SK Mentan RI No. 110/Kpts/OT.210/2/1993 tentang Pengujian Residu Obat Hewan dan Cemaran Mikroba;
(3) SK Mentan RI No: 808/Kpts/OT.260/12/1994 tentang Syarat Pengawas dan Tata Cara Pengawasan Obat Hewan;
(4) SK Mentan RI No: 466/Kpts/OT.140/V/1999 tentang Pedoman Cara Pembuatan Obat Hewan Yang Baik;
(5) SK Mentan RI No:453/Kpts/TN.260/9/2000 tentang Obat Alami untuk Hewan;
(6) SK Mentan RI No: 456/Kpts/OT.140/9/2000 tentang Pembuatan, Penyediaan dan/atau Peredaran Obat Hewan oleh Lembaga Penelitian, Lembaga Pendidikan Tinggi dan Instansi Pemerintah;
(7) Undang - Undang ReI No 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.
Berdasarkan Undang-Undang RI No. 18 tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Dalam pasal 52, ayat (2) dicantumkan bahwa, Setiap orang dilarang membuat, menyediakan, dan/atau mengedarkan obat hewan yang:
a. Berupa sediaan biologik yang penyakitnya tidak ada di Indonesia
b. Tidak memiliki nomor pendaftaran
c. Tidak diberi label dan tanda, dan
d. Tidak memenuhi standar mutu
Bagi pelanggaran terhadap ketentuan tersebut telah dicantumkan KETENTUAN PIDANA, dalam pasal 91: “Setiap orang yang membuat, menyediakan, dan/atau mengedarkan obat hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling singkat (3) bulan dan paling lama 9 (sembilan) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 600.000.000,- (enam ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.800.000.000,00 (satu miliar delatan ratus juta rupiah)”
Dengan demikian jelaslah bahwa semestinya Pemerintah dalam hal ini para
Pengawas Obat Hewan dapat melaksanakan tindakan penegakan hukum bagi
setiap pelanggaran dibidang obat hewan.
Kendalanya adalah sebagian besar Pengawas Obat Hewan didaerah belum
mendapatkan pelatihan sebagai “Penyidik Pegawai Negeri Sipil” (PPNS)
sehingga belum memiliki kompetensi untuk memproses ke pengadilan (“pro
justisia”).
Saat kondisi penyakit hewan yang sedang mewabah di lapangan, sering kali
pengguna kurang berpikir rasional dalam pemilihan penggunaan obat.
Sering kali mereka menggunakan obat hewan yang walaupun belum mengalami
pengujian mutu di lembaga penguji mutu obat hewan. Yang ada pada benak
mereka adalah bagaimana menyelamatkan hewan ternak mereka dengan
menggunakan obat yang ”katanya” manjur padahal kandungan obat, cara
pemakaian yang tidak diketahui karena leaflet bertuliskan bukan dalam
bahasa Indonesia, dan terlebih penting belum diuji mutunya oleh lembaga
yang berwenang di Indonesia sehingga tidak ada nomor registrasinya.
Hasil yang kebanyakan terjadi di lapangan setelah penggunaan obat hewan
ilegal itu adalah ternak mereka banyak yang mati.
Dengan banyak beredarnya obat hewan ilegal di lapangan, siapa yang patut
dipersalahkan? Apakah yang dipersalahkan adalah pengguna yang kurang
mengerti obat hewan ilegal, baik perorangan maupun importir nakal yang
memasukkan secara ilegal untuk meraup untung ditengah kepusingan para
peternak dalam mengatasi wabah penyakit karena tidak perlu bayar bea
masuk dan tidak perlu menunggu pengujian mutu obat.
Hingga kini, Kementerian Pertanian belum memiliki bidang atau direktorat
penyidikan dan penindakan yang berhubungan dengan obat hewan ilegal,
mengingat banyak obat hewan yang tidak terdaftar beredar di lapangan
maupun perangkat lunak yang mengatur obat hewan ilegal tersebut.
Dengan adanya dukungan perangkat lunak seperti landasan hukum (Peraturan
Pemerintah) yang mantap diharapkan dapat melindungi masyarakat
khususnya peternak kecil dalam menggunakan obat hewan yang baik dan
bermutu. (Infovet Des 12)
0 komentar:
Posting Komentar