PENYAKIT PENYEBAB SAPI SULIT BUNTING/ HAMIL (SAPI MAJIR)

Pembangunan peternakan sebagai bagian dari pembangunan pertanian yang bertujuan mencukupi kebutuhan pangan yang bergizi, meningkatkan pendapatan petani dan penyediaan lapangan kerja melalui peningkatan populasi dan produksi hasil ternak. Pembangunan peternakan tersebut harus mampu menyentuh langsung kehidupan petani peternak dan masyrakat pada umumnya.
Dalam hal ini sub sektor peternakan merupakan salah satu alternatif usaha yang dapat meningkatkan pendapatan dan menampung tenaga kerja tanpa penambahan lahan. Salah satu hambatan dalam rangka meningkatkan produktivitas ternak adalah adanya berbagai penyakit reproduksi yang merupakan faktor yang langsung berpengaruh terhadap populasi dan pengembangan ternak.
Penyakit reproduksi pada ternak dapat menimbulkan kerugian ekonomi yang cukup besar bagi petani khususnya dan masyarakat luas pada umumnya. Karena selain merusakkan kehidupan ternak, dan mneghambat perkembanganpopulasi juga dapat menular kepada manusia. Kasus gangguan reproduksi yang ditandai dengan rendahnya fertilitas induk, akibatnya berupa penurunan angka kebuntingan dan jumlah kelahiran pedet, sehingga mempengaruhi penurunan populasi sapi dan pasokan penyediaan daging secara nasional.
Diantara gangguan reproduksi yang cukup mempengaruhi produktivitas ternak yaitu kemajiran pada ternak betina. Kemajiran ternak betina bisa disebabkan oleh infeksi penyakit ataupun non infeksi seperti gangguan hormon, kelainan bawaan, patologi kelamin dan pakan yang kurang nutrisi.
Kerugian ekonomi akibat serangan penyakit dapat ditekan jika diagnosa, pencegahan, ataupun pengobatan dilakukan sedini mungkin, secara cepat dan tepat agar penyakit tidak menyebar ke ternak lain. Dan keberhasilan reproduksi akan sangat mendukung peningkatan populasi ternak
Dalam paper ini akan sedikit dijelaskan tentang kemajiran ternak betina yang disebabkan oleh infeksi-infeksi penyakit yang umum dan sering terjadi di lapangan.

1.2 Perumusan Masalah
1.2.1        Infeksi penyakit penyebab kemajiran ternak betina yang umum dan sering terjadi ?
1.2.2        Bagaimaan gambaran penyakit sampai bisa menyebabkan kemajiran ternak betina?
1.2.3        Bagaimana pencegahan dan penanganannya ?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penulisan
·         Sebagai referensi ilmiah mengenai penyakit-penyakit infeksi yang dapat menyebabkan kemajiran pada ternak betina yang umum dan sering terjadi
·         Memberi informasi cara pencegahan dan penaganan supaya dapat meningkatkan produktivitas ternak yang berdampak pada kesejahteraan petani peternak dan masyrakat pada umumnya

BAB II
PEMBAHASAN

3.1. Kemajiran Yang Disebabkan Infeksi Jamur
Disgenesis reproduksi mencakup kegagalan reproduksi tanpa memandang penyebabnya maupun periode kebuntingan sewaktu terjadi kehilangan konseptus. Kehilangan konseptus yang terjadi sejak pembuahan sel telur sampai diferensiasi embrional (kurang lebih 45 hari) disebut kematian embrional. Kehilangan konseptus yang terjadi selama periode foetal yaitu dari saat diferensiasi sampai kelahiran, dibagi atas abortus dan kelahiran prematur. Abortus atau keluron adalah kematian fetus sebelum akhir masa kebuntingan dengan fetus yang belum sanggup hidup, sedangkan kelahiran prematur adalah pengeluaran fetus sebelum akhir masa kebuntingan dengan fetus yang sanggup hidup sendiri di luar tubuh induk.
Hampir semua abortus mikotik pada sapi disebabkan oleh dua kelompok jamur. Sekitar 60 sampai 80 persen disebabkan oleh Aspergillus spp dan kebanyakan adalah Aspergillus fumigatus. Jenis Mucorales bertanggung jawab atas keguguran mikotik selebihnya. Kejadian abortus mikotik bervariasi dari 0,5 sampai 16 persen dari semua abortus pada sapi.
Gambar : Spora mukorales
Aspergillus terdapat dimana-mana dan umumnya bersifat saprofit. Jamur memasuki tubuh hewan melalui pernapasan dan makanan. Spora jamur kemudian dibawa ke plasenta melalui aliran darah dari laesio lain pada saluran pencernaan. Hasil penularan ini secara gradual menyebabkan plasentitis, hambatan pemberian makanan pada saluran fetus, kematian fetus dan abortus dalam waktu beberapa Minggu atau beberapa bulan kemudian. Kebanyakan abortus terjadi pada bulan kelima sampai ketujuh masa kebuntingan, tetapi dapat berlangsung dari bulan keempat sampai waktu partus. Fetus umumnya dikeluarkan dalam keadaan mati, tetapi pada beberapa kasus terjadi kelahiran prematur atau fetus lahir pada waktunya dalam keadaan hidup tapi lemah dan mati segera sesudah lahir.
Abortus mikotik umumnya ditandai oleh perubahan-perubahan nyata pada selaput fetus, tapi lebih nyata daripada perubahan-perubahan abortus karena brusellosis dan vibriosis. Chorion tebal, oedematus, seperti kulit dan neurotik. Laesio utama terdapat pada plasentoma. Karunkel dan kotiledon sangat membesar, membengkak, oedematus dan nekrotik.
Kotiledon yang nekrotik memperlihatkan suatu pusat yang kelabu suram dikelilingi oleh daerah hemoragika dan bertaut erat dengan khorion yang nekrotik. Di dalam ruang utero khorion umumnya terdapat cairan kemerah-merahan dengan kepingan-kepingan nanah. Jamur menyebar melalui selaput fetus ke dalam cairan foetal. Foetus dapat tampak normal atau, pada 30 persen kasus jamur dapat bertumbuh pada kulit dalam bentuk bercak-bercak seperti pada ichtyosis congenital atau ringworm. Cairan serosa berwarna jerami dapat ditemukan pada jaringan foetal atau rongga tubuhnya. Jamur dapat diisolasi dari isi lambung, dari chorion, atau kotiledon plasenta yang terserang. Penyembuhan pada kasus yang parah cukup lambat dan tertunda atau dapat diikuti oleh kemajiran permanen.
Diagnosa dikuatkan oleh pemeriksaan mikroskopik terhadap jamur dari plasenta atau foetus, pemeriksaan histopatologik terhadap jaringan plasental atau foetal dan oleh kultur pada media buatan.

3.2 Kemajiran Yang Disebabkan Virus “Infectious Bovine Rinotracheitis (IBR)”
Penyakit Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus yang dapat menyerang alat pernafasan bagian atas dan alat reproduksi ternak sapi. Etiologi Infectious Bovine Rhinotracheitis disebabkan oleh Bovine herpesvirus-1 (BHV-1) .
Gejala klinis dari penyakit ini adalah gangguan pernafasan, gejala syaraf dan gangguan reproduksi merupakan gejala klinis yang utama. Biasanya penyakit ini menyerang ternak sapi yang ditandai dengan gejala demam tinggi 40,5 ± 42 °C, nafsu makan menurun dan dijumpai leleran hidung, hipersalivasi, produksi air susu menurun disertai dengan kekurusan (Kurniadhi, 2003).
Sindrom berupa demam, vulvovaginitis, repeat breeders, balanoposthitis, metritis terdapat pada gangguan reproduksi, bahkan dapat menjadi abortus dan kematian pada anak sapi. Penularan IBR terjadi karena kontak langsung, terutama pada kelompok ternak yang dikandangkan terlalu padat, sedangkan, penularan bentuk veneral terjadi pada waktu perkawinan  atau inseminasi buatan (IB) (Sudarisman, 2007). Kontaminasi pada semen merupakan hal yang sangat potensial dalam pengembangan usaha peternakan, karena virus IBR dapat menyebar lewat kegiatan inseminasi buatan dan menyebabkan berbagai gangguan pada saluran reproduksi betina termasuk di dalamnya endometritis, infertilitas dan keguguran.
Masa inkubasi secara alami berlangsung selam 21 hari. Virus masuk ke dalam aliran darah setelah terjadinya penularan (viremia), kemudian diikuti dengan timbulnya kerusakan-kerusakan sel epitel pada mukosa saluran pencernaan. Pada hewan yang buting virus ini menyebabkan plasentitis yang diikuti oleh infeksi pada fetus, kemudian diikuti abortus atau kelahiran anak yang abnormal
Masa inkubasinya virus ini adalah 4-6 hari, tetapi pada infeksi buatan masa ini lebih pendek. Penyakit ini bermanifestasi dalam 3 bentuk : 1) Bentuk respirasi, 2) Bentuk alan kelamin dan 3) Bentuk konjunktivitis. Pencegahan dilakukan dengan pemeriksaan awal terhadap sapi-sapi impor dari daerah atau negara lain yang tertular penyakit ini serta perlu benar-benar bebas dari caplak dan bebas antibodi terhadap virus IBR. Sedangkan pengobatan penderita IBR umumnya hanya bersifat simptomatik (Anonimous, 2008).
Penyakit ini dapat dicegah dengan cara :
1.         Menghindarkan faktor resiko yang ada pada inseminasi buatan. Memisahkan hewan yang serologik positif dan yang negatif. Hambat impor hewan yang serologik positif, embrio dan semen yang telah terkontaminasi virus BHV-1 untuk tujuan pembibitan ternak ataupun program inseminasi buatan.
2.         Mempertahankan kelompok ternak yang bebas BHV-1, melakukan uji serologik dan isolasi virus dua kali setahun pada ternak-ternak yang ada pada pusat pembibitan dan pusat inseminasi buatan terhadap adanya virus BHV-1. Keluarkan hewan yang positif BHV-1 berdasarkan isolasi virus dan kelompok hewan yang serologik positif dapat dilakukan vaksinasi, terutama dengan vaksin yang mati guna mencegah infeksi laten. Hindarkan penggunaan vaksin hidup. Penggunaannya dapat dilakukan bila ada outbreak pada beberapa kelompok hewan serta pengawasan hewan yang telah divaksinasi harus lebih ketat.
3.         Tidak mentolerir adanya pejantan yang serologic positif terhadap BHV-1 pada Balai Inseminasi Buatan (BIB). Hal ini merupakan jaminan terhadap produksi semen beku yang dihasilkan. Reputasi BIB sangat tergantung dari bebasnya pejantan dari penyakit menular
Hal lain yang dapat dilakukan dalam program pemberantasan penyakit ini adalah mengontrol terjadinya infeksi dengan  mengembangkan pengebalan ternak akibat infeksi alamataupun akibat vaksinasi.Berdasarkan akan efektifitas dari imunisasi aktif setelah terinfeksi secara alami, kini vaksin digunakan untuk melakukan program kontrol penyakit IBR.
Vaksin yang digunakan dapat dalam bentuk “modified live virus vaccines”dan “inactivated vaccines”. Kedua vaksin ternyata sama-sama menghasilkan antibodi humoral. Beberapa kelemahan terjadi dalam penggunaan vaksin IBR. Vaksin yang diberikan secara intranasal akan menghasilkan interferon lokal dan antibodi lokal. Sub unit vaksin kini juga telah banyak digunakan akan tetapi beberapa laporan menunjukkan bahwa subunit vaksin tidak dapat mencegah infeksi klinis akibat IBR.
Beberapa vaksin hidup berdampak pada terjadinya keguguran/abortus dan dapat mengakibatkan endometritis. Untuk menghindari hal tersebut, beberapa negara menggunakan vaksin hidup intranasal dan ini masih ada yang melaporkan kemungkinan menjadi ganas kembali. Vaksin inactive/mati banyak yang melaporkan derajat kekebalannya tidak tinggi kecuali dengan penggunaan adjuvant yang baik (Sudarisman, 2003).

3.3 Kemajiran Yang Disebabkan Parasit “Trichomoniasis
Trichomoniasis adalah penyakit venereal yang disebabkan oleh Trichomonas foetus. Abortus terjadi antara minggu pertama dan minggu ke-16 masa kebuntingan. Penularan dari sapi betina ke sapi yang lain terjadi melalui pejantan yang mengawininya. Gejala penyakit ini ditandai dengan siklus estrus yang pendek tidak teratur, dan pada umumnya menyebabkan infertilitas yang bersifat sementara. Sering sekali ditemui abortus muda (umur 4 bulan atau kurang) dan kejadian pyometra.
Gambar : Trichomoniasis fetus
Patogenesisnya pada vagina trichomonisis menimbulkan vaginitis kataralis, yang mukosa vaginanya berwarna kemerahan dan basah. Pada infeksi yang kronis didapatkan udemaa pada vulva. Pada uterus infeksi T. fetus menyebabkan endometritis kataralis yang dapat berubah menjadi purulen. Apabila sapi bunting, keradangan pada kotiledon mengakibatkan kemtian dan maserasi fetus atau abortus, kemudian disusul terjadinya piometra. Pada kasus tersebut corpus luteum gravidatum tetap berkembang dan disebut corpus luteum persisten. Plasenta mengalami penebalan dilapisi sejumlah kecil gumpalan eksudat berwarna putih kekuningan. Pada kotiledon sedikit nekrosis.
Penanggulangan penyakit ini dapat dilakukan dengan pengobatan antibiotik secara lokal pada betina terinfeksi. Sedangkan pada pejantan terinfeksi dilakukan pembilasan kantong penis dengan antibiotik atau antiseptika ringan cukup membinasakan T. fetus. Disamping itu pengolahan semen yang digunakan untuk IB dengan baik merupakan cara pemberantasan Trichomoniasis. Semen yang beredar secara komersial dapat diberi perlakuan khusus dengan pemberian antibiotik untuk menghindari ancaman infeksi sapi betina yang di IB. pengobatan terhadap Trichomonisis dapat berhasil secara efektif dengan menggunakan antibiotik spektrum luas baik untuk pejantan maupun betina. Usaha lain yang dapat dilakukan adalah isolasi dan memberikan waktu istirahat untuk kegiatan seksual.



3.4 Kemajiran Yang Disebabkan Bakteri “Brucellosis
Brucellosis biasanya disebabkan oleh Brucella abortus pada sapi, B. melitensis atau B. Ovis pada ruminansia kecil, B. suis pada babi dan B. canis pada anjing. Aborsi, placentitis, epididimitis dan orchitis adalah gejala klinis paling umum pada penyakit brucellosis, walaupun sindrom lain juga pernah dilaporkan. Dampak utamapenyakit ini adalah dari segi ekonomi; kematian jarang terjadi kecuali pada janin dan neonatus. Beberapa spesies Brucella juga terdapat dalam populasi satwa liar. Hewan liar yang bertindak sebagai reservoir seperti babi liar, banteng, rusa dan kelinci eropa menyulitkan upaya pemberantasan B. abortus dan B. suis. Isolat brucella dari Mamalia laut baru-baru ini telah ditemukan dalam banyak spesies pinnipeds dan cetacean, dan ada kekhawatiran bahwa organisme ini mungkin memiliki dampak yang merugikan pada beberapa spesies.
B. abortus, B. melitensis B. suis dan B. canis biasanya ditularkan antara hewanmelalui kontak dengan plasenta, janin, cairan janin dan vagina dari kotoran hewan yang terinfeksi. Hewan menularkan penyakit setelah aborsi atau setelah melahirkan.Meskipun ruminansia biasanya tanpa gejala setelah aborsi pertama, mereka dapat menjadi carrier kronis, dan terus menyebarkan Brucella melalui susu dan sekresi rahim pada kehamilan berikutnya. Anjing juga bisa terjangkit B. canis pada kehamilan berikutnya, dengan atau tanpa gejala. Masuknya kuman ke dalam tubuh terjadi melaluikonsumsi dan melalui selaput lendir, kulit yang luka dan juga memungkinkan terjadi pada kulit yang utuh.
Patogenesisnya permulaan infeksi brucellosis terjadi pada kelenjar limfe supramamaria. Pada uterus, lesi pertama terlihat pada jaringan ikat antara kelenjar uterus mengarah terjadinya endometritis ulseratif, kotiledon kemudian terinfeksi disertai terbentuknya eksudat pada lapisan allantokhorion. Brucella banyak terdapat pada vili khorion karena tingginya erytritol disana yang merupakan makanan dari kuman Brucella, semakin banyak bakteri disana terjadi penghancuran jaringan, seluruh vili akan rusak yang menyebabkan kematian fetus dan abortus. Jadi kematian fetus adalah gangguan fungsi plasenta disamping adanya endotoksin. Fetus biasanya tetap tinggal di uterus selama 24-72 jam setelah kematian. Selaput fetus menderita oedematous dengan lesi dan nekrosa.
Tidak ada pengobatan praktis untuk sapi terinfeksi atau babi, tetapi pengobatan antibiotik jangka panjang kadang-kadang berhasil pada anjing yang terinfeksi. Beberapa anjing kambuh setelah pengobatan. Antibiotik juga telah berhasil menyembuhkan dengan sukses pada beberapa domba jantan, tetapi biasanya tidak layak secara ekonomis. Kesuburan dapat tetap rendah bahkan jika organisme tersebut dieliminasi. Pada kuda dengan fistulous withers atau poll evil, bursa yang terinfeksi mungkin perlu diangkat melalui pembedahan.

BAB III
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Penyakit reproduksi pada ternak dapat menimbulkan kerugian ekonomi yang cukup besar bagi petani khususnya dan masyarakat luas pada umumnya. Karena selain merusakkan kehidupan ternak, dan mneghambat perkembanganpopulasi juga dapat menular kepada manusia.
Diantara gangguan reproduksi yang cukup mempengaruhi produktivitas ternak yaitu kemajiran pada ternak betina. Kemajiran ternak betina bisa disebabkan oleh infeksi penyakit ataupun non infeksi seperti gangguan hormon, kelainan bawaan, patologi kelamin dan pakan yang kurang nutrisi.
Kerugian ekonomi akibat serangan penyakit dapat ditekan jika diagnosa, pencegahan, ataupun pengobatan dilakukan sedini mungkin, secara cepat dan tepat agar penyakit tidak menyebar ke ternak lain. Dan keberhasilan reproduksi akan sangat mendukung peningkatan populasi ternak.
Kemajiran ternak betina yang disebabkan oleh infeksi-infeksi penyakit yang umum dan sering terjadi di lapangan. Diantaranya penyakit infeksi yang disebabkan oleh jamur yang sering oleh aspergillus fumigatus, virus seperti IBR, bakteri seperti Brucellosis, dan parasit seperti Trichomoniasis.
Pada umumnya pencegahan dapat dilakukan dengan sanitasi kandang yang bagus, vasksinasi, isolasi sedini mungkin jika ada hewan yang terserang infeksi penyakit kemajiran dan pemberian nutrisi yang baik pada hewan yang bunting.
DAFTAR PUSTAKA
Anonimus. 2008. Penularan Kongenital Penyakit Infectious Bovine Rhino Tracheitis  pada Sapi dan Kerbau di Indonesia http://peternakan.Iitbang. deptan.go.id.
http://animal-health.library4farming.org, di dowload jumat 10 Desember 2010 pukul 15.00 wita
http://budidaya-di.blogspot.com/2010/02/jamur-penyebab-abortus-pada-sapi.html, di dowload jumat 10 Desember 2010 pukul 15.00 wita
http://duniaveteriner.com,  di dowload jumat 10 Desember 2010 pukul 15.00 wita
http://en.wikipedia.org/wiki/Mucorales, di dowload jumat 10 Desember 2010 pukul 15.00 wita
Kurniadhi. P. 2003. Teknik pembuatan biakan sel Primer Ginjal Janin Sapi Untuk Menumbuhkan Virus Infectious Bovine Rhinotracheitis. Bogor
Sudarisman, 2003. Penularan Kongenital Penyakit Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR) pada Sapi dan Kerbau di Indonesia. Wartazoa Vol. 17 No. 1 Th. 2007
Sudarisman, 2003. Penyakit Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR) pada Sapi di Lembaga Pembibitan Ternak di Indonesia. Wartazoa Vol. 13 No. 3 Th. 2003.

Jamur Penyebab Abortus Pada Sapi


Disgenesis reproduksi mencakup kegagalan reproduksi tanpa memandang penyebabnya maupun periode kebuntingan sewaktu terjadi kehilangan konseptus. Kehilangan konseptus yang terjadi sejak pembuahan sel telur sampai diferensiasi embrional (kurang lebih 45 hari) disebut kematian embrional. Kehilangan konseptus yang terjadi selama periode foetal yaitu dari saat diferensiasi sampai kelahiran, dibagi atas abortus dan kelahiran prematur. Abortus atau keluron adalah kematian fetus sebelum akhir masa kebuntingan dengan fetus yang belum sanggup hidup, sedangkan kelahiran prematur adalah pengeluaran fetus sebelum akhir masa kebuntingan dengan fetus yang sanggup hidup sendiri di luar tubuh induk.
Hampir semua abortus mikotik pada sapi disebabkan oleh dua kelompok jamur. Sekitar 60 sampai 80 persen disebabkan oleh Aspergillus spp dan kebanyakan adalah Aspergillus fumigatus. Jenis Mucorales bertanggung jawab atas keguguran mikotik selebihnya. Kejadian abortus mikotik bervariasi dari 0,5 sampai 16 persen dari semua abortus pada sapi.

Aspergillus terdapat dimana-mana dan umumnya bersifat saprofit. Jamur memasuki tubuh hewan melalui pernapasan dan makanan. Spora jamur kemudian dibawa ke plasenta melalui aliran darah dari laesio lain pada saluran pencernaan. Hasil penularan ini secara gradual menyebabkan plasentitis, hambatan pemberian makanan pada saluran fetus, kematian fetus dan abortus dalam waktu beberapa Minggu atau beberapa bulan kemudian. Kebanyakan abortus terjadi pada bulan kelima sampai ketujuh masa kebuntingan, tetapi dapat berlangsung dari bulan keempat sampai waktu partus. Fetus umumnya dikeluarkan dalam keadaan mati, tetapi pada beberapa kasus terjadi kelahiran prematur atau fetus lahir pada waktunya dalam keadaan hidup tapi lemah dan mati segera sesudah lahir.


Abortus mikotik umumnya ditandai oleh perubahan-perubahan nyata pada selaput fetus, tapi lebih nyata daripada perubahan-perubahan abortus karena brusellosis dan vibriosis. Chorion tebal, oedematus, seperti kulit dan neurotik. Laesio utama terdapat pada plasentoma. Karunkel dan kotiledon sangat membesar, membengkak, oedematus dan nekrotik.
Kotiledon yang nekrotik memperlihatkan suatu pusat yang kelabu suram dikelilingi oleh daerah hemoragika dan bertaut erat dengan khorion yang nekrotik. Di dalam ruang utero khorion umumnya terdapat cairan kemerah-merahan dengan kepingan-kepingan nanah. Jamur menyebar melalui selaput fetus ke dalam cairan foetal. Foetus dapat tampak normal atau, pada 30 persen kasus jamur dapat bertumbuh pada kulit dalam bentuk bercak-bercak seperti pada ichtyosis congenital atau ringworm. Cairan serosa berwarna jerami dapat ditemukan pada jaringan foetal atau rongga tubuhnya. Jamur dapat diisolasi dari isi lambung, dari chorion, atau kotiledon plasenta yang terserang. Penyembuhan pada kasus yang parah cukup lambat dan tertunda atau dapat diikuti oleh kemajiran permanen.

Diagnosa dikuatkan oleh pemeriksaan mikroskopik terhadap jamur dari plasenta atau foetus, pemeriksaan histopatologik terhadap jaringan plasental atau foetal dan oleh kultur pada media buatan.

PENYEBAB
Hampir semua abortus mikotik pada sapi disebabkan oleh dua kelompok jamur. Sekitar 60-80% disebabkan oleh Aspergillus spp dan kebanyakan adalah Aspergillus fumigatus. Jenis mucorales bertanggung jawab atas keguguran mikotik selebihnya. Kejadian abortus mikotik bervariasi dari 0,5-16% dari semua abortus pada sapi.
GEJALA KLINIS
Abortus mikotik umumnya ditandai oleh perubahan-perubahan nyata pada selaput foetus. Chorion tebal, oedematous, seperti kulit dan nekrotik. Lesi utama terdapat pada placentoma, karunkel dan kotiledon sangat membesar, membengkak, oedematous, dan nekrotik.

PENULARAN
Jamur memasuki tubuh hewan melalui pernapasan dan makanan. Spora jamur kemudian dibawa ke plasenta melalui aliran darah dari laesio pada saluran pernapasan rumenitis mikotik atau laesio lain pada saluran pencernaan. Hasil penularan ini secara gradual meyebabkan placentitis, hambatan pemberian makanan kepada foetus, kematian foetus, dan abortus dalam waktu beberapa minggu atau beberapa bulan kemudian.

DIAGNOSA
Diagnosa dikuatkan oleh pemeriksaan mikroskopik terhadap jamur dari placenta atau foetus, pemeriksaan histopatologik terhadap jaringan placental atau foetal dan oleh kultur pada media buatan.

Penanganan Abortus



Abortus adalah lahir sebelum waktunya dan fetus dalam keadaan mati. Sedangkan lahir sebelum waktunya, fetus dalam keadaan hidup disebut lahir premature. Apabila lahir sudah pada waktunya tetapi fetus dalam keadaan mati disebut lahir mati.
Pengembanabortusbermcam-macam, diantaranyadisebabkanoleh  :
a.       Infeksi
b.      Hormonal
c.       Makanan
d.      Ligkungan uterus
e.       Manajemenpemeliharaan
Infeksibakteriatau protozoa yang menyebabkanabortusseperti  : Brucellosis, vibriosis, salmonellosis, leptospirosis dantritrichomoniasis.
Pada Brucellosis abortes biasanya terjadi pada kebuntingan 3 bulan terakhir dan dapat sembuh sendiri atau berkembang menjadi majir.
Penghilangan corpus luteum fungsional pada sapi bunting akan menyebabkan turunnya konsentrasi progesterone darah yang berfungsi  menjaga kebuntingan sebagai akibat berikutnya adalah keluarnya anak sebelum waktu kelahiran dalam keadaan mati. Selain itu pemberian hormon dari luar tubuh diantaranya prostaglandin, estrogen, oxytocin dan tyroid dapat menyebabkan abortus juga.
Makanan yang banyak mengandung estrogen seperti alfafa dapat menyebabkan aborus. Selain itu daun-daun yang banyak mengandung sianida zat-zat beracun dapat menyebabkan abortus.
Pengaruh lingkungan uterus seperti adanya infeksi bakteri-bakteri non patogen yang biasa hidup dalam saluran reproduksi dapat bersifat patogen oleh sebab-sebab tertentu. Selain itu meningkatnya kontraksi uterus oleh pengaruh lingkungan uterus atau kondisi patologis dalam organ saluran reproduksi.
Perlakuan yang kasar dan berlebihan pada ternak bunting dapat mengakibatkan abortus seperti memperkerjakan kelewat batas atau perlakuan ternak yang menyebabkan gangguan fisiologis kebuntingan.
Langkah-langkah menangani abortus pada sapi  :
1.      Anamnesa, menanyakan segala sesuatu pada pemilik ternak mengenai terjadinya abortus pada ternak. Hal ini untuk membantu mengarahkan diagnosa dan perkiraan akhir penyakit.
2.      Pemeriksaan fisik ternak, masih memungkinkan untuk ditolong atau tidak
3.      Merestrain ternak sehingga aman bagi ternak dan petugas yang mengobati ternak.
4.      Membersihkan saluran reproduksi ternak dengan mencuci menggunakan desinfektan berulang kali
5.      Memberi antibiotik (penicillin dan streptomycin) atau preparat sulfat dalam saluran reproduksi ternak
6.      memberikan suntikan antibiotik intra muskuler.

Emdometritis adalah radang pada lapisan dalam uterus atau endothel uterus. Penyebab endometritis diantaranya adanya infeksi bakteri yang berasal dari bagian lain organ reproduksi seperti vagina kandung kemih serta bakteri yang secara normal hidup dan normal dalam uterus.
Radang pada endometrium ini akan menyebabkan gangguan tubuh secara umum berupa temperatur tubuh naik, nafsu makan menurun dan secara khusus terhadap fisiologi reproduksi berupa terganggunya siklus reproduksi atau terganggunya proses kebuntingan.
Radang uterus dibagi menjadi 4 yaitu  :
1.      Endometritis yaitu radang lapisan endothel yang dangkal
2.      Metritis yaitu radang meluas sampai lapisan otot uterus
3.      Perimetritis yaitu radang pada lapisan serosa dan subserosa, uterus membesar, serosanya berwarna merah
4.      Parametritis yaitu radang pada uterus dan penggantung uterus
       Endometritis ditandai adanya darah dari lubang vulva, temperatur tubuh kadang-kadang naik 39 – 39,5ºC dan penurunan angka konsepsi, uterus membesar sebelah atau keduanya.
Endometritis yang disebabkan oleh infeksi bakteri pembuluh nanah atau endometritis yang diinfeksi sekunder oleh bakteri pembuluh nanah seperti staphylococcus Sp. dan Sterptococcus Sp. akan terbentuk nanah dan disebut pyometra.
      Hewan yang sering menderita endometritis adalah sapi, kuda, anjing dan kucing. Kejadian endometritis sering terjadi perubahan-perubahan hormonal, perubahan-perubahan mukosa sesudah partaf atau swaktu hewan birahi. Pada sapi pada kejadin kelahiran berat atau retensi scundinarum dapat mengakibatkan endometritis. Selain gejala-gejala klinis, diagnosa dapat ditegaskan dengan biopsi (mengambil jaringan) uterus dan diperiksa secara mikroskopis.
      Penanganan endometritis dan pyometra dapat dilakukan dengan mengirisasi uterus dengan antiseptika dan memberi suntikan antibiotik seperti penisilin intra muskuler.
Penanganan Prolapsus Uteri
Prolapsus uteri adalah keadaan dimana organ reproduksi bagian dalam (vagina, cervix dan krnu uteri) menyambul keluar melalui vulva. Keadaan ini biasa terjadi setelah proses kelahiran atau pada saat bunting tua. Tetapi pada beberapa ekor sapi prolapsus juga terjadi pada saat birahi.
Keluarnya organ reproduksi bagian dalam disebabkan oleh  :
a.       Faktor genetic/herediter
b.      Ukuran fetus yang terlalu besar dan dilakukan tarik paksa pada proses kelahiran
c.       Perejanan yang berlebihan/kontraksi uterus berlebihan
d.      Lemahnya otot-otot penggantung saluran reproduksi
Langkah-langkah penanganan prolapsus uteri   :
1.      Restrain ternakpadakandangpaksa
2.      Cuci bagian-bagian organ reproduksi dengan desinfektansia berulang kali sampai bersih dari kotoran dan sisa-sisa kelahiran kalau sapi sedang bunting harus hati-hati.
3.      Angkatlah organ reproduksi yang keluar tersebut dengan menggunakan kain yang halus diletakkan di bawah organ dan diangkat dua orang pembantu operasi.
4.      Masukkan sedikit demi sedikit bagian organ yang keluar, jangan smapai terpuntir, jika rejanan kuat dari induk sering terjadi, berikan anestetika regional melalui epidural.
5.      masukkan desinfektansia ke dalam uterus berulang kali jika prolapsus terjadi setelah kelahiran
6.      Setelah masuk keseluruhan organ reproduksi kedalam tempatnya berikan preparat sulfa/ penstrep, lakukan jahitan pada bibir vulva kanan dan kiri sebanyak 5 – 7 jahitan atau dipasang flessa vulva.
7.      Berikan suntikan antibiotik oxytetracyclin LA secara intra muskuler
8.      Jahitan harus prolapsus pertama, biasanya akan terjadi prolapsus kedua dan seterusnya, oleh karena itu setelah balik, lakukan pemotongan.
Manajemen Efisiensi Reproduksi
  1. Manajemen Efisiensi Reproduksi Ternak Betina
Untuk  mengetahui efisiensi reproduksi maksimal pada kelompok sapi, setiap ekor sapi harus berkembang baik menurut frekuensi sesuai dengan ukuran ekonomi dan sapi ini harus dapat bertahan dalam jangka waktu yang cukup lama, selama hidupnya supaya sapi itu dapat menutup biaya untuk membesarkan anaknya sampai mencapai umur dapat berkembang baik. Bila frekuensi beranak yang tinggi dapat dipertahankan selama umur panjang, maka kedua tujuan reproduksi sapi seperti produksi susu dan peremajaan dapat dikatakan telah tercapai, supaya kedua tujuan  ini  dapat tercapai, maka faktor-faktor manajemen perlu dilaksanakan dengan seksama.
Panjang umur selama umur bermanfaat bagi sapi atau kematian pedetnya merupakan hal penting dalam memelihara reproduksi dengan efisiensi yang tinggi dalam kelompoknya. Bila pada suatu periode dibutuhkan lebih banyak susu dan sapi, efisiensi reproduksi rendah dapat menyebabkan suatu kebangkrutan seorang peternak yang baik bila menghadapi keadaan sedemikian akan merubah cara dari  populasi yang statis menjadi populasi yang meningkat.
Dari hasi penilitian rata-rata umur sapi perah yang bermanfaat kira-kira 3,5 tahun. Makin panjang umur sapi yang bermanfaat  dalam peternakannya makin menguntungkan sapi tersebut dan dapat  diharap­kan beranak secara teratur.
Kematian pedet di suatu perusahaan merupakan suatu yang merugi­kan dan menghambat  perkembangan perusahaan serta memperkecil efisiensi reproduksi.
Manajemen  pemeliharaan mempengaruhi jumlah  sapi  dara  yang dapat  dipakai  untuk tujuan seleksi dan peremajaan. Keguguran, kemajiran, kematian pedet dan frekuensi kelahiran serta kondisi ternak dapat dipakai untuk meramalkan berapa jumlah sapi dara yang dapat dipakai untuk meremajaan dalam peternakan. Dengan menggunakan sapi dara potensial setiap tahun di bawah kondisi yang berbeda-beda dan 20% sapi-sapi dikeluarkan setiap tahunnya. Dalam kondisi manajemen yang jelek dan jarak beranak yang lebih panjang, setiap sapi dara yang berhasil dibesarkan harus dipakai untuk peremajaan. Satu-satunya seleksi yang dapat dilakukan yaitu dengan cara menge­luarkan sapi-sapi yang sudah tua atau menggunakan sapi-sapi dara yang tidak disenangi.
Dua hal yang perlu diperhatikan bagi peternak yang baik yang sering terlupakan adalah pengamatan sapi-sapi dengan teliti dan pencatatan. Pencatatan menangani apa yang terjadi pada sapi-sapi secara permanen berguna untuk meramalkan keadaan yang akan datang akan mempertinggi efisiensi reproduksi. Contoh pengamatan terhadap birahi yang lebih sering akan menaikan angka konsepsi. Beberapa sapi dapat menunjukan birahi yang singkat sehingga telah terlewat, mesksipun dengan pengamatan 2 kali.
Dalam suatu program inseminasi buatan/kawin alam, kebanyakan keberhasilan sapi-sapi memperoleh anak tergantung pada orang yang memeliharanya yang pertama-tama akan melihat sapinya birahi. Mengawinkan sapi pada waktu yang tepat harus dimulai dari peternak. Satu periode birahi yang terlewat atau tidak tepat  dapat  memperpanjang jarak beranak melebihi dari jarak waktu yang diinginkan.
Kesalahan yang diakibatkan oleh birahi yang tak kembali dapat merugikan sekali, lebih-lebih sapi itu tidak bunting.
  1. Manajemen Efisiensi Reproduksi Ternak Jantan
1.      Masa Produksi dan Pertumbuhan Sapi Jantan
Pejantan yang memiliki genetik unggul sebagai produsen spermatozoa normal yang berjumlah banyak dan dalam setiap program inse­minasi buatan merupakan hal penting. Karena produksi optimum spermatozoa normal dan sehat tergantung pada kesehatan, ukuran dan kondisi testis, makapejantan harus diberi pakan dan manajemen yang baik, sehingga testis dapat dipelihara dalam kondisi yang optimal.
Makanan yang cukup energi, protein, mineral dan vitamin penting untuk pertumbuhan dan perkembangan sapi jantan muda. Fungsi reproduksi sapi jantan muda lebih banyak terganggu karena defisien­si makanan dari pada sapi jantan dewasa. Awal pubertas jelas ter­lambat karena difisiensi energi atau protein dalam makanan. Vitamin A merupakan vitamin utama yang dapat mengakibatkan gangguan repro­duksi sapi jantan muda, bila vitamin A kurang dalam makanannya.
Selain hal tersebut diatas, untuk menjaga efesiensi penggunaan pejantan sebagai penghasil semen, perlu mencegah adanya infeksi penyakit seperti : TBC, Brucellosis, Vibrosis, Trichomoniosis dan Leptospirasis dll. Penyebab lain diafkirnya atau dikeluarkannya pejantan  sebagai penghasil semen yaitu adanya seleksi yang ketat terhadap sapi-sapi.
Pejantan muda, yang diseleksi berdasarkan penampilan luarnya dan bila diberi pakan dan menejemen yang tepat dapat diharapkan memproduksi  dalam jumlah terbatas, semen yang fertil pada umur 10 sampai 12 bulan.
Jika umur minimum yang fertil ini ditambahkan waktu yang dibutuhkan untuk keturunannya di dalam uterus dan waktu yang diperlukan untuk sejumlah anak betina yang dibutuhkan untuk memproduksi anak dan memenuhi produksi laktasi maka umur yang dicapai oleh sapi jantan perah untuk diuji keturunannya secara baik mini­mum pada umur mendekati 5 (lima) tahun atau rata-rata mendekati  6 sampai 7 tahun. Jadi sapi pejantan yang diinginkan adalah sapi jantan yang telah diuji pada umur 5 tahun memiliki umur produktif sebagai pejantan untuk perkawinan alam selama 5,5 tahun dan setiap tahun penambahan umur hidup produktif juga menurun secara bertahap. Sebaliknya pejantan yang telah diuji dan terseleksi untuk insemina­si buatan, rata-rata umur yang diharapkan untuk perkawinan alam, disebabkan oleh seleksi yang ketat terhadap fertilitas mudah dalam program inseminasi buatan.Pertumbuhan normal sapi jantan type perah di Eropa  rata-rata per hari adalah 0,96 kg sampai 1,04 kg. Sedangkan sapi-sapi  lokal di Indonesia tentu lebih kecil dibandingkan sapi-sapi Eropa.
Kebutuhan pakan sapi perah jantan dewasa sesudah mencapai kedewasaan penuh secara fisik makanan diperlukan untuk memelihara struktur fisik, memperbaiki sel-sel yang telah rusak dan memberikan energi untuk proses vital dan untuk aktifitas fisik yang bervaria­si. Sedangkan kebutuhan makanan untuk mencapai produksi semen tidak banyak berbeda karena pengaruh dari kebutuhan badan, terhadap protein,  hidrat arang, mineral dan vitamin yang terkandung dalam semen memang sedikit.
Umur, bangsa, ukuran badan, jumlah makanan yang diberikan dan kemugkinan faktor lainnya,  memegang  peranan untuk menimbulkan pubertas pada sapi jantan.
Spermatocyt I fertilitas dalam testis sapi jantan yang tumbuh dengan baik pada umur 15 minggu. Spermatocyt II 26 minggu, terlihat dalam tubuli. Spermatozoa terlihat pada tubuli pada umur 32 - 36 minggu. Ejakulasi pertama pada sapi Eropa pada umur 39 minggu.
Rata-rata berat badan sapi jantan FH yang diberi makan dengan jumlahyang normal pada produksi semennya yang pertama dalam bebera­pa penyelidikkan adalah 273,61 kg sedangkan sapi bangsa lain 208,38 kg.
2.      Produksi Semen
Testis anak sapi yang baru dilahirkan tidak memproduksi semen. Umur pubertas ternak tergantung pada banyak faktor, tapi besar tubuh suatu bangsa ternak merupakan faktor utama produksi semen sedudah pubertas. Pengaruh besar tubuh dan pertumbuhan terhadap produksi semen merupakan hal yang penting, untuk beberapa waktu tapi bila kematangan tubuh telah tercapai, faktor lain mulai memegang peranan, dan dapat merubah pengaruh besar tubuh terhadap produksi semen.
Kapasitas produksi semen dipengaruhi oleh umur tetapi perubahan kondisi tubuh juga merupakan faktor yang berperan penting. Setelah dewasa tubuh stres dan penyakit merupakan faktor yang langsung mempengaruhi produksi semen. Korelasi positif antara besar tubuh dan besar testis artinya semakin besar ukuran tubuh semakin besar pula ukuran testis pada masa pertumbuhan, tapi keadaan ini tidak berlaku pada sapi  yang telah tua.
Dengan pejantan-pejantan dewasa peneliti-peneliti berpendapat bahwa imbangan antara besar badan dan besar testis serta antara besar testis dan produksi spertozoa adalah terlalu rendah untuk menduga yang satu dengan yang lain. Untuk mendapatkan sejumlah sel mani dalam jumlah banyak dari seekor pejantan harus dilakukan pengumpulan dengan frekwensi yang sering dari ejakulasi yang sedikit atau frekwensi pengumpulan sedi­kit dari beberapa kali ejakulasi.
Sapi jantan yang dikawinkan silang sehari menghasilkan lebih banyak semen dan spermatozoa tiap-tiap  ejakulat tetapi jumlah seluruhnya lebih sedikit bila dihitung dalam suatu periode diband­ing dengan pengumpulan air mani 2 sampai 4 hari tiap hari. Tidak terdapat perbedaan antara penampungan semen sekali setiap 4 hari, dua kali setiap 8 hari atau 3 kali setiap 12  hari, terhadap angka konsepsi.
Sapi yang diambil semennya 6 kali seminggu selama 8 - 14 bulan memiliki tingkat fertilitas 70,74 % - 77%, jadi pengumpulan semen 2- 3 kali ejakulat setiap 2 - 3 hari sekali dapat menghasil­kan produksi jumlah spermatozoa yang lebih menguntungkan untuk pengolahan dan pengiriman air mani dalam pelaksanaan IB secara luas.
Produksi  semen  dan konsentrasi  spermatozoa  rata-rata  peda ternak :
Jenis Hewan
Jumlah penampungan per minggu
Konsentrasi spermatozoa per ml (juta)
Volume rata-rata perejakulasi (ml)
Sapi
Domba
Babi
Kuda
3 – 5 kali
7 – 25 kali
3 – 5 kali
7 – 10 kali
1200
3000
270
120
4 – 6
1
215
125
Teknologi Reproduksi
  1. Sinkronisasi Birani
Singkronisasi birahi menyerentakan birahi pada sekelompok ternak betina pada waktu yang bersamaan.
Tujuan  :
-          Membuat kondisi ternak yang mempunyai jadwal siklus birahi berbeda-beda menjadi serentak dalam waktu yang relatif sama.
-          Memudahkan manajemen reproduksi dan pengawasan ternak.
-          Efisiensi pelaksanaan perkawinan/IB
-          Dapat memperkirakan musim kelahiran anak setelah pelaksanaan IByang telah disesuaikan dengan keadaan musim.
-          Pelaksanaan embryo tranfer.
Cara-cara singkronisasi birahi ternak
1.      Manual yaitudenganmemecahkan corpus luteum
2.      Pemberian hormonal :
- PGF2α
-   estradiol (Estrogen)
-   progesteron.
- esktrak kelenjar hypofisa
Pemecahan korpus luteum bertujuan untuk menghilangkan korpusluteum yang berfungsi memproduksi progesteron. Dengan tidak adanya progesteron maka estrogen akan meningkat, karena tidak adanya penekanan terhadap tumbuhnya folikel degraf penghasil estrogen.
Penyuntikan hormon PGF2α (prostaglandin) dimaksudkan adalah meningkatkan kontraksi organ produksi dan menghilangkan korpus luteum, sehingga estrus/birahi dapat dipercepat.  Sedangkan penyuntikan estrogen dimaksudkan untuk meningkat jumlah estrogen dalam darah yang akan mempengaruhi kondisi ternak menjadi birahi. Sebaliknya pemberian progesteron untuk menekan estrogen sehingga birahi ditunda sampai progesteron habis dan estrogen meningkat yang diakhiri timbulnya gejala birahi. Penyuntikan kelen­jar hypofisa telah berkembang di bidang perikanan untuk pemijakan (perkawinan).
  1. Superovulasi
Pada ternak beranak tunggal, ovum dihasilkan 1 buah setiap siklus birasi. Superovulasi membuat ternak beranak tunggal mengha­silkan ovum dalam jumlah yang banyak pada satu kali birahi.
Cara-cara superovulasi
  1. Pemecahan corpus luteum pada pertengahan siklus birahi dan penyuntikan PMS secara sub cutan 2 - 4 hari kemudian.
  2. Penyuntikan PMS secara subcutan ± 4 hari sebelum bihari.
  3. Penyuntikan esktrak kelenjar leipofisa kuda secara subcutan tiga hari berturut-turut, dimulai 6 hari sebelum birahi yang diharap­kan.
  4. Penyuntikan secara sub cutan FSH dari lipofisa domba selama 5 hari berturut-turut menjelang birahi, diikuti dengan penyuntikan intra vena gonadotropi lomba yang masih utuh pada hari     ke 6.
  5. Penyuntikan satu dosis PMS secara sub cutan pada hari ke 5 menjelang birahi diikuti dengan gonadotropi domba untuk 6 hari kemudian.
  6. Penyuntikan subcutan dengan satu dosis PMS 5 hari menjelangbirahi lalu  dengan gonaHotropi chorion manusia (HCM) secara intra vena 6 hari kemudian.
  1. Embryo Transfer/Alih Mudiga
1.      Sejarah Transfer Embrio (Alih Mudiga)
Keberhasilan eksperimen transfer embrio pertama kali dilakukan oleh Walter Haepe di Cambrige pada akhir abad XIX tepat­nya 27 April 1890. Walaupun demikian percobaan yang mula-mula sekali dilakukan mengenai superovulasidan alih mudiga pada ternak, baru dilakukan pada tahun 1931 oleh Hartman, Lewis dan Miller. Kemudian Warwick dan Berry pada tahun 1949 berhasil melaksanakan teknik ini pada kambing dan domba, disusul Kvan­snickii tahun 1951 pada babi dan Willet tahun 1951 pada sapi.
2.      Pengertian Transfer Embrio (Alih mudiga)
Transfer embrio "Alih Mudiga" adalah suatu metode dalamperkawinan dengan cara menstimulir pembentukan banyak embrio dari seekor betina donor yang unggul, kemudian dipindahkan dan dicangkokkan ke dalam saluran reproduksi induk hewan-hewan betina lainnya dalam species yang sama, yang disebut resipien.
Menurut Jillella (1982) alih mudiga adalah  suatu  metode khusus dalam beternak dengan cara menyuntik seekor betina dewasa dengan sejenis hormon estrogen untuk mendapatkan  sejumlah sel telur yang kemudian dibuahi dengan cara inseminasi buatan atau kawin alam. Kemudian dicangkokkan ke dalam saluran reproduksi induk-induk penerima yang telah disinkronkan biharinya, untuk dibesarkan dan dilahirkan.
Dalam keadaan normal sebenarnya jumlah oocyst di dalam ovaria seekor sapi betina bervariasi dari nol (mandul  sempurna) sampai dengan 700.000. Pada umur 4 - 6 tahun, jumlah oocyst relatif stabil yaitu sekitar 140.000 (Toelihere, 1981), menurut Lindsay et al. (1982), dari ovarium seekor sapi dapat dibentuk lebih dari 75.000 sel telur (ova). Akan tetapi dalam sepanjang umur hidupnya seekor sapi yang produktif hanya akan memanfaatkan kurang lebih 60 ova saja. Oleh karena itu sangat disayangkan apabila seekor sapi betina unggul hanya mampu menghasilkan seekor anak dalam setiap tahun, jadi dengan menggunakan teknik alih mudiga ini, telah dapat diusahakan untuk memanfaatkan bibit betina maupun pejantan unggul secara lebih efisien.
Namun berbicara soal teknik alih mudiga, seringkali orang salah tafsir seolah-olah teknik tersebut hanya meliputi transfer atau pemindahan embrio dari donor ke resipien saja. Padahal sesungguhnyateknik alih mudiga merupakan gabungan dari beberapa teknik yang saling berkaitan erat satu sama lainnya.
Adapun masing-masing teknik tersebut meliputi  seleksi donor, seleksi resipien, teknik superovalasi, fertilisasi, sinkronisasi bihari, panen embrio, penyimpanan dan pengawetan embrio dan teknik transfer. Dengan demikian maka keberhasilan suatu proyek alih mudiga sangat tergantung atau ditentukan oleh suksesnya pelaksanaan teknik-teknik tersebut.
Faktor-Faktor Penentu Keberhasilan Transfer Embrio
  1. Seleksi Donor
Ada tiga kriteria penilaian bagi donor yaitu keunggulan mutu genetik, normalitas alat reproduksi dan kemampuan menghasilkan anak. Penilaian mutu genetik didasarkan pada kemampuan produksi yang terbukti melalui suatu proses seleksi yang memakan waktu lama dan biaya mahal. Mortalitas alat reproduksi dapat dinilai dengan mengadakan pemeriksaan terhadap organ reproduksi melalui palpasi rektal. Bila digunakan sapi induk dapat diketahui kemampuan menghasilkan anak. Semakin mudah menghasilkan anak semakin baik sapi tersebut dijadikan sebagai sapi donor.
Faktor umur juga berperan dalam menentukan keberhasilkan menyeleksi donor. Biasanya hewan yang digunakan berumur 3 - 10 tahun. Sapi tua biasanya sedikit respon terhadap perlakuan hormon gonadotropin dan fertilitas serta keadaan fisiknya menu­run.
Kesehatan donor juga berperan untuk keberhasilan pemindahan embrio. Sapi yang lemah terutama akibat infansi bibit penyakit yang mempengaruhi sistem reproduksi. Sebelum dicalonkan sebagai donor, sapi diperiksa terhadapberbagai penyakit. Di Colorado State Universityhewan donor harus mempunyai surat keterangan bebas penyakit terhadap brucellosis, tuberculosis, bluetongue, anaplasmosis  dan bovine leukosis. Di samping itu donor harus memiliki surat vaksinasi terhadap penyakit Infectius Bovine Rhinotracheitis (IBR), Bovine Vulvovaginitis Disease (BVD), Parainfluensa III, Leptospirosis dan Clostridiosis. Bila didapatkan donor positif terhadap anaplasma atau blue tongue, hewan harus diobati dan jika tidak berhasil hewan dikeluarkan.
Seleksi terhadap donor hendaknya dilihat dari 10 segi pandangan dangan antara lain :
a.       Segi ekonomi, menjual embrio atau pedet dengan harga tinggi
b.      Segi genotip yaitu membentuk turunan unggul baik genotip maupun fenotip.
c.       Keadaan saluran reproduksi yang merupakan fisiologik-anatomik normal, tidak pernah mengalami distokia maupun siste ovarium.
d.      Keadaan sapi harus sehat, berat badan seimbang, gizi baik, bebas penyakit menular baik zoonosis ataupun bukan.
e.       Umur sapi sekitar 3 - 10 tahun
f.       Mempunyai siklus birahi yang teratur
g.      Bagi sapi yang pernah beranak setiap  tahun  secara teratur dan anak yang dilahirkan sehat dan normal.
h.      Berasal dari sapi yang subur.
i.        Tidak mempunyai kesulitan kelahiran.
j.        Dapat bunting dengan satu kali perkawinan.
  1. Seleksi Resipien
Resipien adalah sapi betina yang menerima embrio dari sapi betina donor. Syarat untuk terpilih sebagai betina resipien tidak terlalu banyak sehinggapenanganannya dapat lebih sederha­na dibandingkan dengan penanganan betina donor.
Syarat sebagai resipien diantaranya adalah :
a.       Mempunyai sejarah melahirkan normal dan birahi normal 60 - 90 hari setelah melahirkan
b.      Harus bebas dari penyakit-penyakit reproduksi, dan dengan palpasi rektal dapat dirasakan bahwa saluran reproduksinya normal
c.       Kondisi tubuh dan gizi yang baik
d.      Betina tersebut tidak bunting dan dalam keadaan kering kan­dang.
e.       Besar tubuh betina resipien harus sesuai dengan tubuh  betina donor untuk menghindari kejadian distokia.
  1. Teknik Superovulasi
Pengadaan ova dalam jumlah banyak dari induk donor yang berkualitas genetik tinggi merupakan salah satu syarat utama yang harus ditempuh pemindahan embrio danproses ini disebut superovulasi.
Superovulasi adalah perlakuan terhadap induk donor untuk mendapatkan sel telur yang diovulasi lebih banyak dari biasanya dengan memberikan hormon-hormon tertentu dari luar. Dengan perkataan lain, superovulasi akan memperbanyak jumlah embrio yang dihasilkan, sehingga anak yang dilahirkan dengan cara  alih mudiga dapat lebih banyak.
Cara teknik superovulasi  :
a.       Penyuntikan PMSG secara subcutan kurang lebih 4 hari  sebelum ternyadinya oestrus.
b.      Penyuntikan ekstrak kelenjar adenohipofisis kuda subcutan tiga hari berturut-turut.
c.       Penyuntikan ekstrak kelenjar hipofisis domba secara subcutan lima hari berturut-turut kemudian penyuntikan HCG secara intravena pada hari keenam.
d.      Penyuntikan PMSG secara subcutan lima hari sebelum bihari dan disusul enam hari kemudian dengan preparat hipofisis domba atau HCG secara intravena.
Sekarang ini sebenarnya teknik superovulasi sudah berkem­bang dan mencapai suatu standar tertentu, tetapi respon ovarium terhadap perlakuan superovulasi tetap masih merupakan masalah dalam meningkatkan teknik alih mudiga secara keseluruhan. Respon ovarium yang bervariasi ini dipengaruhi oleh berbagai macam faktor, antara lain : umur hewan besar badan, bangsa, gizi, fase siklus birasi dan periode laktasi, keadaan iklim dan musim, serta tipe, dosis dan jenis obat/hormon yang dipakai.
Secara  umum sebenarnya ada dua kelompok hormon yang berperan dalam mengontrol siklus birahi, yaitu kelompok pertama erat kaitannya dengan kelenjar ovarium sebagai penghasil hormon estrogen dan progesteron dan kelompok kedua berasal dari  kelen­jar adenodipofisis sebagai penghasil hormon gonadotrapin. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat gambar berikut ini  :
Gambar  : Diagram skematis peranan hormon-hormon gonadotropin
     adenohipofisis dan hormon-hormon ovarium dalam hubungannya
dengan perubahan siklus pada endometrium
  1. Fertilisasi
Fertilisasi atau pembuahan peristiwa bersatunya ovum dan spermatozoa. Sebelum keadaannya bersatu dan mengadakan persejiwaan, mereka harus menempuh berbagai persiapan dan hambatan. Semen yang digunakan dapat dalam bentuk segar atau beku. Yang ditekankan adalah semen jenis unggul. Sebelum melakukan inseminasi harus dipastikan hewan dalam keadaan birahi,  pada  hewan yang mendapat perlakuan superovulasi biasanya kurang jelas dibanding dengan tanpa perlakuan. Kira-kira 10 % yang tidak jelas tanda birahinya. Donor demikian tidak boleh dikawinkan.
  1. Sinkronisasi
Sinkronisasi  birahi adalah usaha manusia untuk menyamakan waktu birahi antara donor dan resipien untuk memudahkan penger­jaan pemindahan embrio. Sikronisasi ini penting artinya bagi teknik pemindahan embrio yang dilakukan langsung dari donor. Dengan kata lain embrio yang baru saja dipanen dapat langsung dipindahkan pada resipien tanpa harus melewati tahapan pengawe­tan.
Penyerentakan birahi lebih praktis dengan menggunakan penyuntikan preparat prostaglandin (PGF2α).
Prosedur penyeren­takan birahi tersebut dapat dilakukan sebagai berikut  :
Hari 1              : Donor disuntik dengan PGF2α
Hari 2              : Resipien disuntik dengan 25 mg PGF2α
Hari 7              : Pengamatan birahi pada resipien yang telah disuntik dengan PGF2α
Hari 14 – 17    : Donor yang birahi disuntikan dengan FSH dua kali sehari
Hari 16            : Resipien disuntik dengan PGF2α untuk kedua kali nya sebanyak 25 mg
Hari 17            : Donor disuntik dengan dosis kedua dari PGF2α, dan merupakan hari terakhir
                        pemberian FSH.
Hari 19            : Pengamatan terhadap sapi yang birahi baik donor maupun resipien.
Hari 20            :  Donor dibuahi
Hari 27            : Panen embrio dari donor yang memberi reaksi terhadap pembuahan, kemudian
                        dilakukan pemindahan ke resipien yang telah disiapkan tadi.
  1. Panen Embrio
Panenembrioseringdisebutdenganpenampunganembrio, "flushing" atauembrio recovery.Menurut beberapa ahli biasanya dilakukan pada hari ke enam sampai hari ke delapan atau rata-rata hari ke tujuh sesudah pembuahan. Panen embrio lebih baik dilakukan sewaktu ova berada di dalam uterus karena menghasilkan rataan kebuntingan yang tinggi serta resiko yang tidak terlalu berat.
Metode panen embrio dapat dilakukan dengan dua cara yaitu cara pembedahan dan tanpa pembedahan. Adapun prinsip teknik panen embrio tanpa pembedahan adalah memasukan cairan media ke dalam tanduk uteri melalui sebuah kateter khusus, kemudian menyedotnya kembali keluar setelah bercampur dengan sel-sel telur yang telah dibuahi.
Cara pembedahan panen embrio adalah sebagai berikut :
Sebelum pembedahan dilakukan pada sapi donor di isolasi dan dipuasakan selama satu sampai dua hari. Sedangkan daerah yang akan dibedah dicukur dan didesinfektan. Setelah itu diberi suntikan anaestesi dengan "Short Barbiturate" diikuti dengan pemberian "Closed Circuir Anaesthesia" menggunakan halothane dan oksigen. Kemudian donor diletakan di atas meja operasi. Sayatan dilakukan pada garis median sepanjang 15 cm, kemudian uterus dan ovarium dikeluarkan. Vornua uteri dijepit pada bagian uteri tubal junction (UTL) yang berdekatan dengan corpus uteri".
Uterus dimassage ke arah tuba fallopii dan cairannya yang mengandung embrio ditampung pada cawanpetri melalui pipa kecil yang  sebelumnya  dimasukan  ke dalam  fibriae. Segera setelah embrio ditampung, diinkubasikan pada suhu 37ºC sampai akan dievaluasi. Cornua uteri lainnya juga dapat diperlakukan dengan cara yang sama.
Setelah kedua cornua uteri selesai dibasuh, uterus dan ovarium dibilas dengan cairan fisiologik yang hangat, diberi heparin serta antibiotik, lalu dimasukan kembali dan dijahit lagi secara bertahap.
Media yang dipakai untuk flushing, menyimpan embrio maupun untuk transfer tergantung dari jenis hewannya. Paling baik untuk domba ialah serum homolog, untuk babi tyrode yang ditambah sedikit albumin, sedangkan untuk sapi biasanya dipakai TCM. 199 atau  Dulbecco's. Medium yang mengandung Bovine Serum Albumin (BSA).
  1. Penyimpanan dan Pengawetan Embrio
Sesudah dipanen, embrio dikumpulkan di dalam medium. Selan­jutnya dapat langsung dipindahkan ke resipien atau diawetkan. Dengan berkembangnya teknologi kriobiologi di dalam pengawetan sel-sel mamalia, telah didirikan bank-bank embrio beku yang dapat menyimpan dalam waktu yang lama.
Embrio disimpan dalam tempat yang transparan, tertutup rapat, volume kecil. Medium tertutup rapat dengan minyak parafin untuk menghindari penguapan, kontaminasi bakteri dan pertukaran gas dengan udara secara teratur.
Dalam  hal pengawetan sel, pertama-tama suspensi sel 10 - 15% dimethtyl sulfoxide atau gliserol dalam volume yang sama dicampurkan.  Kemudian  dimasukan dalam  vial-vial  tempat pada kotak styrofoam yang akhirnya dimasukan ke dalam lemari pendingin bersuhu -80ºC selama 2 - 12 jam.
Bila hendak digunakan, suhu tersebut harus dinaikkan hingga suhu kamar. Pengenceran suspensi sel 10 - 20 kali lipat.  Kemudian dihilangkan kandungan gliserolnya dan dipindahkan ke medium embrio yang segar.
  1. Teknik Transfer
Pemindahan embrio dari donor kepada resipien merupakan tahapan yang berarti, karena pada saat itu embrio dimasukan ke dalam saluran reproduksi (cornu uteri) dari resipien. Apabila embrio tadi cocok dengan resipien maka embrio itu akan tumbuh dan berkembang menjadi fetus yang normal.
Dalam pemindahan embrio secara langsung, embrio segar yang baru saja dipanen harus segera dipindahkan karena medium yang lama  dapat menjadi racun bagi embrio, medium paling lama dapat digunakan selama 2 jam.
Sementara seseorang memeriksa keadaan embrio, petugas yang lain harus mempersiapkan resipien yang akan menerima embrio. Resipien tadi harus sudah mengalami pengamatan birahi satu kali dan memenuhi persyaratan sebagai resipien, dan yang terpenting sudah mengalami birahi enam sampai depalan hari yang lalu.
Keadaan resipien harus sama dengan keadaan donor pada saat dilakukan panen embrio. Apabila ada perbedaan, dapat dipastikan akan terjadi kegagalan dalam pemindahan. Sementara itu resipien digiring ke dalam kandang khusus untuk mendapatkan suntikan anaestasi epidural 5 ml procain 20 % atau anaestasi epidural lainnya. Ekornya harus diikat dan daerah sekitar vagina rectum dibersihkan lagi dengan alkohol 70%. Kemudian didiamkan beberapa saat sambil menunggu anaestasi bekerja.
Kemudian dimulailah proses pemindahan embrio. Tangan opera­tor dimasukan ke dalam rectum untuk melokalisir dan menilai corpus luteum. Dengan bantuan seorang pembantu, gun inseminasi dimasukan ke dalam vagina. Gun inseminasi tidak boleh menyentuh bibir vulva ataupun bagian belakang dari vagina.
Pada saat pemindahan embrio, keadaan uterus adalah enam sampai  delapan dari sesudah birahi. Dalam hal ini cervik  dalam keadaan benar-benar tertutup, sehingga agak sukar  dibandingkan dengan pada saat sapi sedang bidahi. Oleh sebab itu apabila gun inseminasi sudah dapat melewati cervix, maka dengan  bantuan tangan  di dalam rectum gun inseminasi tadi diarahkan ke tanduk uterus pada sisi yang sama dengan sisi ovarium yang  mengandung corpus luteum.
Untuk lebih jelasnya mengenai proses pemindahan embrio secara pembedahan dapat dilihat pada gambar berikut ini :
Embrio diletakan di saluran telur (1 - 3 hari)
Pemindahan Embrio Secra pembedahan
Hayn ahsgug iduun jy
Apabila resipien sudah bunting, perawatan lebih ditingkat­kan. Perlakuan yang harus diberikan adalah sebagai berikut  :
1.      Resipien tidak boleh mengalami perjalanan yang jauh, karena dapat menggagalkan proses kebuntingkan
2.      Makanan yang diberikan sesuai dengan umur, bagi resipien yang dewasa pada tujuh bulan kebuntingan, berat badan naik 0,24 kg setiap hari. Berat badan yang berlebihan pada resipien tidak diinginkan. Makanan yang sudah lama jangan diberikan karena dapat mengakibatkan  abortus, juga tanaman beracun harus dihindari.
3.      Menjelang dua bulan sebelum kelahiran, resipien harus benar-benar diperhatikan, untuk menghindari kelahiran prematur.
4.      Bila diperlukan operasi caesar dalam kelahiran maka pelaksa­naan harus dilakukan oleh dokter hewan yang ahli.
5.      Kandang lahir harus bersih dan kering. Selama sesudah2 jam sesudah kelahiran,pedet harus mendapat colostrum dari induk­nya.
6.      Dalam masa laktasi resipien harus mendapat makanan yang seimbang.
7.      Dengan menajemen yang baik, perawatan induk dan anak akan terjamin, kematian anak hingga penyapihan tidak akan lebih dari 5% sampai 6%.
Dengan dilakukan prosedur di atas akan didapatkan  anak-anak yang sehat dan bermutu tinggi.

.

.

.

.

Produk